Sabtu, 28 Maret 2009

Sosilogi Profetik, infestasi islam bagi study social dan kemunusian.

August Comte sebagai bapak sosiologi telah mempelopori pertama munculnya aliran positivisme, yang meyekinini bahwa reliatas tidaklah berbeda dengan fenomena alam, pendekatan emperisis bisa menjadi penyelesain dan pejelasan beragam fenomena yang terjadi diruang publik. Pandangan ini bertolak belakan dengan non-positivis yang mengatakan bahwa realitas sosial tidak bisa digenalisir seperti apa yang diyakini oleh positivisme. Perdebatan ini terus berlangsung hingga munculah paham baru yang bernama Neo kantin untuk menjembatani kaum positivis dan neo positivis, dengan cara, satu sama lain saling “memaknai dan memahami” agar perdebatan dua kelompok tersebut dapat diselesaikan. Namun upaya Neo Kantin untuk mempertemukan dua kelompok ini terlihat hanya sekedar ajakan reflektif belaka tanpa menawarakan alternatif yang baru. Dalam pandangan kuntowijoyo perdebatan tersebut adalah bukti bahwa ilmu sosial sedang mengalami kemandegan,_perdebatan-perdebatan hanya berkutat di seputar perbedaan metodologi, dan semuanya cendrung liberal. Lalu kuntowijoyo menawarkan pendekatan ilmu sosial alternati yaitu ilmu sosial profetik.

Gagasan-gagsan yang ditawarkan kuntowijoyo tantang ilmu sosial tidak hanya menjelaskan dan memungkinkan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk kearah mana transpformasiakan itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik tidak hanya mengubah demi perubahan, namun tawarannya ini memiliki cita-cita untuk mewujudbkan nilai-nilai profetis, yang bersumber dari penafsiran kuntowijoyo tas surat Ali imron: 110: “kamu adalah umat terbaik yang dilahirbkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” Menurut kutowijoya ayat tersebut memiliki beberapa pesan filosofis. Pertama. Umat islam adalah pilihan (khairu al ummah). Kedua, kedaran sejarah (ukhrijat linnas). Ketiga, umat islam memiliki tanggung jawab (amar ma’ruf)_ditafsirakan menjadi humanisasi. Keempat, nahi al mungkar_liberasi. Kelima, al-iman billah_trancsaendensi yang berprinsip bermaksud mengarahkan tujuan sejati dari humanisasi dan liberasi (pengantar).

Gagasan kuntowijoyo dalam hal ini ternyata masih terlihat sebatas wacana yang hanya ditemukan diruangan-ruangan diskusi, namun dalam aktifitas keseharian nilai-nilai profetis seolah berlalu begitu saja tanpa ada praktek yang jelas. Padahal ilmu sosial provetik berngakat dari kegelisahan kuntowijoyo untuk menyatukan teori dan praxis. Bahan dalam kata lain dia berkata bahwa Ilmu sosial tidak cukup yang hanya berfungsi menjelaskan dan memaafkan, ilmu sosial disamping mejelaskan juga harus dapat memberi petunjuk kearah transformasi.

Jika aliraran positivis mampu mengiring pemikiran seseorang tentang realitas sosial kedalam suatu paradigma (positivisme) lewat kaya tokoh-tokhnya, maka kehadiran buku sosilogi profetik, yang ditulis oleh Syrifuddin Jurdi dkk, buku yang berhalaman 234, merulpakan karya yang sangat popular , karya yang memang benar-benar lahir dari realitas dan fakta social saat ini dengan analisis yang benar-benar mampu melihat perkembangan ilmu social dan perkembagan agama. Kehadiran buku sosiologi profetik ini merupakan langkah untuk memerkenalkan paradigma baru realitas social dalam prespektif profetik.

Paradigm sosiologi profetik

Realitas terus menerus mangalami perubahan dan berkembang menurut lpgika social yang menciptakanya, realitas tersebut bekerja dan berperoses untuk mencapai suatu kondisi yang dikehendaki sebagai suatu yang ideal dan sempurna. Berangkat dari itu paradigma sosiologi mestinya juga harus dihadirkan untuk konteks social yang riil dan diaplikasikan dalam respon fenomena sosial. Suatu paradigma keilmuan yang lahir dari dialektika social akan memberikan makna tersendiri khususnya dalam konteks akademik dan kemanusiaan umpamanya dialektika antara realita dan kesadaran. Sosiologi sebagai ilmu yang mendasarkan segalanya dari realitas dan fakta empiric tidak cukup dengan melepaskan diri dari menjelaskan realitas – tanpa “bertanggung jawab”, untuk berkontribusi di dalamnya.

Gagasan mengenai paradigma sosiologi profetik sangat menarik, paradigma yang ditawarkan tidak bersifat tunggal seperti yang disebut oleh ritzer. Melainkan meletakkan paradigma yang populer, paradigma social, paradigma definisi social, dan paradigma perilaku social menjadi hal yang pokok dalam kajian sosiologi yang harus diteliti dan duikaji dalam dinia yang real, dinia empirika atau dunia nyata.

Paradigma sosiologi profetik merupakan langakah menuju perubahan yang bersifat permanent dalam arti semakin dekatnya manusia kepada yang maha abdi, sebagaimana menurut Kuntowijoyo islam menghendaki transformasi menuju transendensi. Disisnilah kemudian menegaskan bahwa pengakuan tauhid harus diletakkan sesuaidengan pengakuan bahwa Allah itu maha pencipta, raja dan penguasa alam semesta. sehingga Orientasi transendensi Tauhid mampu mengikat atau mengintegrasikan keseluruhan unsure pokok kehidupan sehingga membentuk satu kesatuan yang padu, terintegrasi dengan segala aspek kehidupan dan keilmuan. Realitas yang menjadi sumber pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan sah itu dapat dimaknai dalam dua arah, yaitu pada arah struktur pencipta dan struktur ciptaan. Dua struktur itu gabungkan dengan satu kata, artinya struktur kedua mempercayai adanya struktur pencipta. Aspek ini memiliki dua dimensi metodologis dan kontekstual

Kalau kemudian kita menoleh pada perkembangan sosiologi di Frankfrut shool maka akan tersirat dalam benak kita bahwa Sosiologi profetik memiliki kesamaan dengan aliran kritik-interpretatif yang dikembangkan oleh Frankfrut shool, meski memiliki basis formal dan material yang berbeda. Sosiologi profetik berangkat dari konsep-konsep teologis, di mana ada struktur lain—di luar yang riil—empiric yang menentukan jalannya realitas. Dalam soal ini, realitas yang dirasakan manusia tidak bisa dilepaskan dari “peran” struktur yang kita sebut “gaib” atau terdapat makna transendensi yang ikut berperan dalam menentukan realitas kehidupan manusia.

Islam dan realitas sosial menjadi core dalam studi sosiologi profetik karena itu perlu dikalukan dekonstruksi paradigmanya, tidak lagi semata-mata bersifat deduktif, induktif, positivis, fenomenologi, etnometodologi dan sebagainya, tetapi perlu dikaitkan dengan struktur transendensi, karena itu islam dipergunakan untuk menjelaskan realitas social, perubahan social politik, dan segala soal yang berkaitan dengan dinamika kehidupan social. Ini yang dimaksud dengan pemahaman integralistik yang bersumbu pada dua dimensi yakni dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Inilah yang kemudian menjadi isi dari sosiolgi profetik sehingga pembahasannya yang ada didalamnya tidak mengalami ketimpangan anlisa.

Metodologi

Sosiologi memiliki beragam metodologi dalam rangka menjelaskan fakta-fakta social. Metode yang satu mungkin berhasil menjelaskan fenomena social tertentu tapi belum tentu dapat dan berhasil menjelaskan fenomena social yang lain.

Agama sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadi wahyu tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya, manusia sebagai satu-satunya sumber pengatuhan dan melupakan tuhan. Jadi sumber pengetahuan itu ada dua macam yaitu berasal dari tuhan dan yang berasal dari manusia, dengan kata lain, teantroprosentarisme. Maka kemudian ilmu harus didasarkan pada fakta-fakta yang objektif dan menyatukan dengan nilai-nilai agama agar dalam menilai fakta social lebih bijaksana ditengah-tengah peradaban kehidupan yang sangat kompleks seperti saat ini.

Gerakan sujud Semesta: Konstruksi Lanjut Wacana Strukturalisme Transendental Kuntowijoyo

Masjid adalah tempat para hamba bersujud pada Allah. Jadi, ketika seorang hamba sedang kuliah dalam rangka bersujud kepada Allah, maka tempat kuliahnya otomatis menjadi masjid. Jika seorang gadis menerima lamaran seorang pemuda demi persujudan kepada Allah maka rumah tangganya menjadi masjid bagi kehidupan mereka. Jika seorang presiden memimpin bangsa demi sujudnya kepada Allah, maka seluruh wilayah Negara yang dipimpinnya akan tumbuh menjadi masjid yangs angat kokoh. Selanjutnya, jika seorang pedagang berjualan demi sujudnya pada Allah, pasar seketika menjadi masjid. Maka di mana pun ada hamba yang merealisasikan persujudannya kepada Allah, maka otomatis dia tengah mendirikan masjid. Itulah ide globalisasi dalam dimensi spiritual bahwa sesungguhnya seluruh bumi Allah adalah masjid (hlm 53).

Namun globalisasi yang selama ini kita dengar pastilah bukan globalisasi masjid tersebut. Globalisasi yang ada tak lain adalah fenomena pengglobalan pasar. Globalisasi itu mewakili ideology new liberalisme yang menempatkan kebebasan menjadi (hanya) berintikan kebebasan pasar. Sehingga menyebabkan mekanisme pasar yang tidak adil dan melahirkan ketimpangan ekonomi dibelahan dunia. Globalisasi pasar seperti ini juga selalu memicu lahiranya fenomena dehumanisasi atau terjadunya liberasu manusia

Nah, Kalau pengglobalan pasar menghasilkan dehumanisasi, maka perlu sebuah “pengglobalan masjid” yang menggerakan humanisasi. Pengglobalan masjid bukan gerakan memperbanyak masjid-masjid, namun merupakan garakan sujud semesta, yang dalam pengertian ini masjid bukanlah bangunan yang selama ini yang disebut masjid atau mushola. Masjid di sini adalah suatu semangat dan orientasi untuk mensujudkan segala sesuatu hanya kepada Allah SWT. (hlm 55). Artinya, bahwa masjid memiliki makna untuk pembebasan (liberasi) manusia dari segala bentuk pemberhalaan sebagaimana konsep naïf dan istibad dalam kalimat tauhid (inti sahadat). Maka menjadi sesuatu yang urgen bagi kita semua melakukan “perlawanan” terhadap neo liberalisme dengan konsekuansi memperkecil ketergantungan pada orang lain

Kesadaran akan adanya neo liberalisme sebagai tingkat lanjut dari kapitalisme (dalam kaitannya dengan apa pun) itu mengharuskan kita untuk selalu meneliti ulang gaya hidup kita. Bagi kapitalisme ia berideologi kapitalis, islam, komunis, sosialis dan sebagainya karena titik serangnya adalah pada gaya hidup seseorang. Karena secara prinsip, kapitalisme itu tidak menyerang (atau merasa tidak perlu menyerang) berbagai gagasan di luar ideologinya. Apa pun ideology seseorang, asalkan gaya hidupnya mewakili ideology kapitalisme itu sudah cukup. Oleh karena itu, agenda humanisasi dan liberasi dalam gerakan sujud semesta haruslah terlebih dahulu dengan membangun suatu perspektif maarifat.

Transformasi pengglobalan masjid dijalankan dalam kerangka kerja humanisasi dan liberasi. Humanisasi dapat dilakukan dengan mencari pemecahan dari tiga gejalah social yang ada. Ketiga gejala social tersebut adalah dehumanisasi (objektivasi teknologi, ekonomis, budaya atau Negara), agresivitas (kolektif atau personal/kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi) sedangkan liberasi memiliki empat sasaran, yaitu system pengetahuan, system social, system ekonomo, dan system politik (hlm 70)

Gerakan Transnasional dan Lintas Agama: Membongkar Logika Kompetisi

Gerakan islam transnasional merupakan potensi besar bagi upaya menyelamatkan dunia ini dari kehancuran akibat keserakahan neo liberalism namun, pikiran kita Selama ini dibangun dengan muatan logika kompetisi. Pikiran yang ada dikepala kita tidak pernah lepas dari bagaiman mengalahkan orang lain dan selalu berusaha untuk mendapatkan kemnagan. Bahkan Konsep win-win solution hanya sampai pada sebuah jargon saja. Pandangan seperti itu, disadari atau tidak, banyak dianut kalangan aktivis islam baik yang berbentuk gerakan transnasional maupun yang bukan. Muatan berpikir seperti inilah yang selalu menimbulakan perpecahan dalam internal gerakan islam. Logika kompetisi menjadu waji untuk dibongkar kemudian diganti dengan usaha bagi masing-masing gerakan memberukan kebajikan terbaiknya atau dalam bahasa buku ini adalah logika fastabiqul khairat. Hendaknya masing-masing agama dengan berdasarkan keyakinan masing-masing, berusaha memberikan kebajikan yang terbaik bagi dunia ini. Hubungan antar agama bukan hubungan yang saling menghancurkan, sebuah agama lahir hanya untuk memberikan yang terbaik bagi umat manusia. Dalam islam, hal itu tercermin dalam konsep lakum dinukum waliyyadiin. (hal 62)

kalau pandangan positivisme berusaha merumuskan hukum social yang menjelaskan variasi dalam prilaku social sementara pandangan a positivisme menolak konsep hokum social dan berusaha menjelaskan sejarah social untuk mendapatklan pemahaman tentang bagaimana sejarah dapat berubah. Kalau pandangan positivisme menekankan pada hubungan sebab-akibat, historistitas, keterarahan data social untuk dilihat dari konteks tranformasi yang mungkin terjadi. Namun kita sangat sadar bahwa positivusme bisa terjebak melahirkan nihilislisme yang tidak ada bukti mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika secular adalah tidak mungkin karena itu kehidupan tidak memiliki arti dan tidak ada tindakan yang lebih baik dari pada yang lain.

Sistem keilmuan social dalam islam, tentu berbeda sekali dengan pandangan nihilisme karena itu selain a positivistic, system keilmuan dalam islam memiliki. Dengan adanya nilai tersebut manusia mampu membedakan suatu tindakan lebih baik dari tindakan lainnya. Dari situlah kemduain dikenal adanya konsep “akhlaqul karimah”. (hlm. 67)

Posisi disipliner sosiologi profetik

Gagsan mengenai menganai posisi dusipliner sosiologi profetik tidak terlepas gagsan tang ditawarkan oleh kuntowijoyo tentang ide ilmu social profetik (ISP) yang banyak menkritik pemahan augus comte mengenai positivismenya, ilmu social profetik tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positisme, tetapi lebih jauh jiga mengharuskan ilmu social untiuk secara sadar pikam nilai sebagai tujuan dan unsure pokok dalam ilmu social profetik ada tiga, pertama humanisasi, kedua liberasi (kebebasan) dan ketiga transendensi. Gagsan ini adalah bahwa ilmu social profetik mencoba menggabingkan kemampuan kritis ilmu sosial dan nilai-nilai agama dalam satu bungkai paradigma ilmu social dan nilai-nilai agama dalam satu bingkai paradigma ilmu social yang utuh dan integral. Agama yang dalam khasanah social kontenporer dianggap berada diluar wilayah ilmu pengetahuan hendak dubawa kembali masuk sebagai sah daru ulmu social. (hal 78)

Pergulatan intelektual kuntowijoyo yan dikomposisilan antra ilmu social dan pemikiran politik islam dalam buku ini dijelaskan dengat sarat teoritik dan historistik, kuntowijoyo menawarkan dengan membangun ilmu social profetik yaitu ilmu social yang tidak hanya menjelaskan dan mengibah fenomena social tetapi juga memberi petunjuk kearah mana transformasi itu dilakukan, dan apa oleh siapa. Sebagai kawaban persoalan yang dihadapi ilmuan social Indonesia. Ilmu social profetik akan melakukan orientasi terhadap epistemologi. Yaitu orientasi terhadap mede of thought dan made of in quiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan tidak hanya dari rasiao dan emperik tetapi juga dari wahyu sehingga memiliki sifat yang mengakui transendensi dan arena mengakui adanya nilai ilahia.

Dengan gagasan ilmu social profetik ilmuan muslim tidak perlu terlalu khawatir yang berlebihan terhadap dominasi ilmu social Barat didalam proses theory building. Uslamisasi pegetahuan dengan prosese pinjaman dan sintesus ini tidak perlu diartikan sebagai westernisasi islam.

Penilaian tentang objektivitas dalam buku ini banyak merujuk pada pendapat dari Mirdal seorang took yang telah menulis buku ”objectivity in social research” tahun 1965. penulis dari buku ini berpenpat bahwa perilaku manisia yang diamati itu bersifat rasuonal dan mampu menimbang manfaat (utilitas) dan disulitas tindakan. Hal seperti inilah menurut Mirdal akan menjerumuskan kedalam bias, dimana mereka menjadi yakun atau merasa yakin seolah-olah rasionalitas dan optumaliras pasar.(hal 114)

Hingga saat ini kita sadari bahwa agama dan ilmu sosial memiliki wilayah yang berbeda sehingga banyak melahirkan kefanatikan pada ilmu social. Padahal begitu sangat pentingnya agama dan ilmu social dipadukan. Apalagi, masyarakat Indonesia masih kental dengan kultur relegiusnya. Ketika wacana ilmu social dihadapkan pada masyrakat seperti ini tanpa ada upaya memadukan dengan posisi agama maka ilmu social akan selalu menukan kebuantuan analiasa. Oleh karena itu, buku sosiologi profetik ini sangat penting untuk dibaca oleh semua kalangan baik, pelajar, mahasiswa, dosen, pemerhati social dan tokoh-tokoh agama. Walaupun buku ini hanya 234 halaman tapi saya yakin setiap yang memabacanya akan menemukan titik terang tentang pentingnya infestasi islam bagi study social dan kemunusian.

Sudah saatnya islam, tidak hanya ditemukan dimasjid-masjid ataupun tempat-tempat ngaji tetapi islam harus mampu mengelurakan dan membeikan soslusi kehidupan sosial yang penuh belenggu neoloberilism pada arah yang humanis dan tetap menjunjung nilai-nilai ketuhanan (trensendensi). Salah alat pencerahan agar kita memiliki perspekitif yang humanis tersebut adalah buku sosiologi profetik ini, buku ini juga banyak menyempurnkan pendapat-pendapat Kontowijiyo tentang ilmu sosila profetik dan banyak pula mengkritik teori-teori ilmu-ilmu social dari barat. kemudian, buku ini juga banyak memaparkan pemikiran-pemikiran ibnu khaldun sebagai sosiolog islam terutama teori tentang integrasi.

Tidak ada komentar: